Halaman

Jumat, 29 April 2016

Tugas Softskill Akuntansi Internasional (Perpajakan Internasional)



Tugas Softskill
Akuntansi Internasional
(Perpajakan Internasional)
Earlyna Rachmonandes
22212348-  4eb16

A. Pengertian Pajak Internasional
            “Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunt Servanda).”
B. Sumber Hukum Pajak Internasional Indonesia
            Di Indonesia, pajak internasional khususnya mengenai P3B diatur dalam Pasal 32A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini adalah lex specialist terhadap Undang-undang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B
C. Permasalahan Dalam Perpajakan Internasional
1.       Transfer Pricing
Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).
2.       Treaty Shopping
Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara yang menandatangani tax treaty


3.       Tax Heaven Countries
Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty.

D. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) / Tax Treaty
            Adalah perjanjian pajak antar dua negara atau antar beberapa negara dalam upaya menghindari pajak berganda. Hal-hal yang ada didalamnya meliputi negara mana saja yang menjadi peserta dan terikat dalamperjanjian tersebut dan objek pajak apa yang tercakup dalam perjanjian tersebut. Pada dasarnya tax treaty dapat dibedakan menjadi 3 macam :
1.       Menyebutkan jenis pajaknya tetapi tidak menyebutkan definisinya, hal ini dapat menimbulkan perbedaan dalam penafsiran, sehingga sering kali ditambahkan klausal “jika terdapat keragu-raguan maka akan dibicarakan bersama”.
2.       Mencantumkan definisi pajak yang diliputinya disertai dengan nama pajaknya, yang pada waktu perjanjaian dibuat telah ada dan ditambah dengan ketentuan bahwa pada sewaktu-waktu tertentu otoritas keuangan dari masing-masing negara akan saling memberitahukan, pajak mana yang tunduk dalam perjanjiana tersebut.
3.       Menyebutkan nama pajaknya dengan ketentuan, bahwa perjanjian tersebut juga berlaku untuk pajak-pajak yang akan diadakan, dan pada hakekatnya mempunyai dasar yang sama.

E. Model Tax Treaty
            Dalam Perpajakan Internasional terdapat dua model persetujuantax treaty utama yang digunakan sebagai model untuk tax treaty antar negara-negara di dunia, antara lain :
1.  OECD Model
OECD merupakan singkatan dari Organization for Economic Cooperation and Development, adalah sebuah organisasi Internasional dengan tiga puluh negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Negara-negara anggotaOECD adalah negara negara yang maju, dimana arus barang, uang dan orang diantara mereka setara. Negara negara ini menggunakan asas residensial atau domisili untuk taxing right atau hak pemajakannya, dimanapenghasilan royalti tidak termasuk penghasilan yang dibebaskan dalam penghitungan pajak. Hak pemajakan atas royalti diberikan sepenuhnya kepada Negara Domisili.
Hal ini tidak menjadi masalah bagi negara-negara OECD dikarenakan kesetaraan tadi, hingga saling internetting perpajakan di lingkungan negara negara OECD. Hal ini kemudian menjadi tidak adil bila dilakukan modeltax treatyini dilakukan dengan negara negara berkembang, karena bila menggunakan asas residensial, maka negara negara berkembang tersebut tidak akan mendapatkan bagian hasil pajakkarena umumnya negara maju memiliki investasi di negara berkembang, sebaliknya negara berkembang memiliki sedikit investasi di negara negara maju.Metode yang digunakan pada tax treaty model OECD adalahexemption dancredit method.
2.  UN Model
UN merupakan singkatan dari United Nationatau dikenal sebagai PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), adalah sebuah organisasi yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, pengamanan internasional, lembaga ekonomi, dan perlindungan sosial.Oleh karena itu, model tax treaty UNlebih memungkinkan untuk mempertimbangkan berbagai kondisi negara-negara yang berbeda, sehingga sebisa mungkin tidak ada yang dirugikan dalam penetapan ketentuan persetujuan tax treaty.Maka UN model adalah model tax treaty yang lebih menjamin keadilan untuk negara negara berkembang.
Model tax treaty UN hanya mengatur perlakuan terhadap “penduduk” masing-masing negara dimana penghasilan yang diperoleh (atau kekayaan yang dimiliki) dari Negara Sumber diabaikan sama sekali oleh Negara Domisili dalam menghitung penghasilan lainnya yang diperoleh penduduknya (full exemption), sehingga penghasilan yang diperoleh dari Negara Sumber tidak dikenai pajak oleh Negara Domisili, tetapi penghasilan tersebut ikut diperhitungkan hanya untuk menentukan tarif progresif (exemption with progression).
Akibat dari exemption tersebut laba usaha yang diperoleh di negara sumber tidak dapat digunakan sebagai kompensasi kerugian di dalam negeri. Tapi, penghasilan atau kekayaan yang diperoleh atau dimiliki oleh penduduk dari negara domisili berasal atau berada di negara sumber, yang berdasarkan P3B ybs dikenai pajak di negara sumber, negara domisili harus memberikan pengurangan pajak yang dibayar di negara sumber tersebut.

            Pada kenyataannya, pada tax treaty yang dilakukan oleh dua negara(bilateral), model UN dan OECD tersebut hanya merupakan  gambaran umum, karena pada akhirnya, sistem dan keseluruhan tata cara yang dipakai tergantung isi perjanjian yang disepakati oleh dua buah negara yang melakukan perjanjian. Dan model tax treaty yangdijadikan acuan utama dalam perundingan P3B (tax treaty) Indonesia adalahmodelUN.
   Selain kedua model utama diatas, juga terdapat model yang dikembangkan oleh suatu negara untuk kepentingannya sendiri, misalnya US Model (1996, 2006); dan Multilateral Tax Treaty, yang tidak diterima secara luas dan hanya meliputi beberapa negara saja, contohya:
         Pakta Andean (Bolivia, Chile, Kolombia, Ekuador, Peru dan Venezuela)
         Nordic (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia dan Swedia)
         Maghribi Union (negara-negara di wilayah Afrika Utara)

F. Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
            Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.
            Adanya kebijakan pajak internasional khususnya P3B dimaksudkan terutama untuk menghilangkan pajak berganda (double tax). Pajak berganda ini timbul karena dua negara mengenakan pajak atas penghasilan yang sama. Ketentuan-ketentuan dalam P3B yang dimaksudkan untuk mencegah pengenaan pajak berganda ini misalnya ;
Ø  Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence di mana seseorang atau badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident tax person) oleh dua negara yang berbeda.
Ø  Adanya ketentuan pembagian hak pemajakan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 21 P3B untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pembagian hak pemajakan ini ada yang bersifat ekslusif diberikan hanya kepada satu negara dan ada juga yang berupa pembatasan kepada suatu negara untuk mengenakan pajak.
Ø  Adanya ketentuan tentang Corresponding Adjustment terhadap lawan transaksi di suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi terhadap satu Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing.
Ø  Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana jika satu Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di negara lain maka Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk menyelesaikan masalahnya melalui MAP ini.






G. Kasus Pajak Internasional Wajib Pajak Orang Pribadi

David Beckham Beramal untuk Hindari Pajak?

Oleh: Irvan Ali Fauzi
Bola - Selasa, 5 Februari 2013 | 14:04 WIB

            INILAH.COM, Paris - Isu tak sedap menyeruak bersamaan dengan langkah David Beckham ke Paris Saint-Germain. Beckham dituduh menghindari pajak yang membebaninya sebagai pekerja di Prancis. Beckham resmi bergabung dengan PSG Jumat (1/2/2013) akhir pekan lalu dengan kontrak berdurasi lima bulan. Mantan bintang Manchester United dan Real Madrid itu kemudian menghibahkan semua gaji yang diterimanya dari PSG sebesar 800 ribu Euro (sekitar 10 miliar Rupiah) per bulan untuk sebuah panti asuhan. Niat baik ini justru menimbulkan syak wasangka.
            Presiden Prancis, Francois Hollande, menetapkan pajak sebesar 75 persen bagi seseorang yang tinggal di negaranya dengan penghasilan lebih dari 1 juta Euro atau sekitar 13 miliar Rupiah per tahun, baik itu penghasilan yang didapat dengan bekerja di Prancis maupun penghasilan yang didapat dari luar Prancis. Definisi menetap sendiri menurut hukum Prancis adalah orang yang tinggal di negeri asal Napoleon itu selama minimal enam bulan. Untuk menghindari ini, Beckham hanya mengikat kontrak selama lima bulan bersama PSG. Tak hanya itu, sang istri, Victoria, serta anak-anaknya, tetap tinggal di London sehingga Becks bisa tetap memegang KTP London.
            Selain itu, gajinya di PSG langsung disalurkan ke badan amal di Paris tanpa lebih dulu mampir ke rekeningnya. Dengan demikian, Beckham bisa membuktikan bahwa ia benar-benar tidak ‘cari untung’ di Prancis.Becks sendiri tetap mendapat bayaran dari PSG, namun jumlahnya amat kecil, yakni 2200 Euro atau sekitar 28 juta Rupiah per bulan. Ini adalah upah minimum bagi seorang pesepak bola profesional di Prancis.Beckham lebih baik memilih mengorbankan penghasilan total 4 juta Euro selama lima bulan di PSG daripada penghasilan totalnya, yang tahun lalu mencapai 30 juta Euro (390,5 miliar Rupiah) per tahun dibebani pajak hingga 22,5 juta Euro (292 miliar Rupiah).
Kebijakan sang presiden ini dikecam perdana menteri Prancis, Gerald Darmanin. Menurutnya, niat pemerintah untuk meraup pemasukan justru akan membuat sumber-sumber pemasukan dari sektor pajak mereka menjauh. “Saya lebih suka menarik 50 persen dari banyak wajib pajak, ketimbang 75 persen dari tak satupun orang,” keluhnya. Total kekayaan pemain berusia 37 tahun itu mencapai 234,6 juta Euro atau sekitar 3 triliun Rupiah


Referensi :
ü  http://kangom.blogspot.com/
ü  http://1man1a.wordpress.com/
ü  http://vidyariashintawati.blogspot.com/
ü  http://dudiwahyudi.com/
ü  http://kompas.com/
ü  http://bola.inilah.com/
ü  http://sport.detik.com/
ü  http://nasional.kontan.co.id/
ü  http://cetak.kompas.com/
ü  http://sport.detik.com/
ü  http://bisniskeuangan.kompas.com/
ü  http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Artikel_Pajak_170513.pdf
ü  http://www.aktual.co/
ü  http://www.bbc.co.uk/indonesia/
ü  http://jasaoffshore.blogspot.com/
ü  http://taxationindonesia.blogspot.com/
ü  http://jurnalakuntansikeuangan.com/






Jumat, 01 April 2016

Review Jurnal “Intensifikasi Pemunggutan Pajak Hotel Ditinjau Dari Potensi Kota Batu Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah



Review Jurnal “Intensifikasi Pemunggutan Pajak Hotel Ditinjau Dari Potensi Kota Batu Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

 (Wisudawan Krida Laksana Putra, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga)
Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan bagi negara, mempunyai arti dan fungsi yang sangat penting untuk proses pembangunan. Dalam hal ini pajak selain berfungsi sebagai budgetair juga dapat berfungsi sebagai regulerend. Ditinjau dari fungsi budgeter, pajak adalah alat untuk mengumpulkan dana yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sedangkan dilihat dari fungsinya sebagai pengatur (regulerend), pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak ditujukan kepada sektor swasta bahwa dalam usaha meningkatkan penerimaan pajak seiring dengan kemajuan kegiatan ekonomi diperlukan suatu sistem perpajakan yang dapat menjadi pendukung utama perekonomian. Pajak juga penting bagi daerah, merupakan salah satu pendapatan yang memberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah. Pajak adalah pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Dengan demikian, akan terjamin bahwa kas negara selalu berisi uang pajak, bahwa pajak daerah merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berguna untuk menunjang penerimaan pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk di dalam APBD.
Kota Batu sebagai kota berbasis pada sektor pariwisata dalam perkembanganya dituntut untuk meningkatkan sarana dan prasana serta pelayanan yang baik dalam bidang pariwisata, yang otomatis tidaklah terlepas dari peningkatan dan pengembangan hotel sebagai penunjang daripada sektor pariwisata. Hal ini memberikan angin segar bagi Pemerintah Kota Batu untuk menarik pajak agar dapat meninggkatkan penerimaan daerah itu sendiri. Sedangkan dampak yang dirasakan masyarakat dengan adanya peningkatan penerimaan pajak daerah adalah kelancaran pembangunan. Pembangunan ini meliputi berbagai sektor diantaranya pembangunan jalan, pembangunan fasilitas umum seperti : sarana olahraga, pasar, masjid, jembatan dan fasilitas lainnya. Sejak dikeluarkan Peraturan Daerah pada tahun 2003 tentang pajak hotel, pajak ini selalu memberikan konstribusi yang tidak sedikit bagi penerimaan Kota Batu. Relatif kecilnya PAD terhadap total penerimaan di sebagian besar daerah menyebabkan daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan PAD, baik secara intensifikasi. Hal ini seringkali terjadi karena banyak daerah atau kota yang menganggap bahwa PAD merupakan suatu ukuran kemandirian suatu daerah. Secara umum, peluang untuk melakukan intensifikasi pajak masih dimungkinkan karena masih banyak terjadinya tax evasion/avoidance (penghindaran terhadap kewajiban mebayar pajak), kelemahan pada pemerintah daerah atau kota dalam menghitung potensi pajaknya, maupun rigiditas penentuan tarif pajak. Sementara itu sejumlah daerah juga berlomba-lomba untuk meningkatkan PAD melalui upaya instensifikasi pajak. Upaya ini apabila tidak dilakukan secara cermat akan justru menimbulkan distorsi (kesenjangan) terhadap pasar serta menciptakan disinsentif bagi iklim usaha dan investasi. Oleh karena itu, upaya demikian dikhawatirkan justru menciptakan trade-off antara tujuan jangka pendek (meningkatkan penerimaan melalui peningkatan PAD sebanyak-banyaknya) dan tujuan jangka panjang (meningkatkan penerimaan melalui peningkatan PDRB karena munculnya berbagai kegiatan investasi dan kegiatan usaha didaerah).
Berdasarkan hasil temuan data di lapangan yang telah disajikan dan dianalisis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Dispenda kota Batu melakukan pendekatan secara lebih intensif kepada pihak hotel. Dispenda harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan Wajib pajak dalam hal ini pihak hotel, dengan hubungan yang baik antara pihak Dispenda dengan pihak hotel maka akan meningkatkan kepercayaan pihak hotel terhadap Dispenda sehingga proses penarikan pajak berjalan dengan baik. Misalnya terhadap pihak hotel yang merasa keberatan terhadap pembayaran pajak, Dispenda melakukan pendekatan secara intens agar tidak ada jarak yang jauh antara pihak Dispenda dan pihak hotel. Dispenda mengadakan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam hal ini pihak hotel, misalnya dengan cara sosialisasi tentang ketepatan waktu, tentang penggunaan sistem bonbill. Perbaikan kualitas pelayanan Dispenda, semakin meningkat kualitas pelayanannya maka semakin tinggi pula tingkat kredibilitas Dispenda. Misalnya pihak Dispenda membuat sistem pembayaran pajak online, sehingga mempermudah pembayaran pajak, tanpa harus manual. Sedangkan untuk hotel ialah harus memiliki sistem birokrasi yang jelas, agar didalam suatu birokrasi tersebut dapat berjalan sesuai rencana. Pihak hotel setidaknya tidak perlu menggunakan operasional secara berlebihan, karena dapat menghambat pembayaran pajak disebabkan dengan tingginya biaya operasional hotel tersebut.
Faktor Pendorong dan Penghambat yang mempengaruhi Intensifikasi pajak hotel adalah. Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : (a) Memperluas basis penerimaan Pajak Hotel di Kota Batu. Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan. (b) Memperkuat proses pemungutan Pajak Hotel Kota Batu. Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu peningkatan SDM. Peningkatan SDM dispenda Kota Batu perlu dilakukan mengingat sebagai petugas pemungutan pajak daerah. (c) Meningkatkan pengawasan Pajak Kota Batu. Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara berkala,tiap 6 bulan atau 1 tahun dilakukan secara rutin oleh pihak Dispenda, memperbaiki proses pengawasan, serta menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak hotel yang tidak mampu membayar sesuai aturan yang ada. (d) Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan Kota Batu. Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan. Tiap proses pemungutan atau pembayaran pajak dilakukan saat pihak hotel membayar pajak ke dispenda, dan pihak dispenda mampu memberikan proses pembayaran secara cepat dan efisiensi. Sedangkan faktor penghambat intensifikasi pajak hotel ialah : Bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD dalam intensifikasi pajak hotel, terutama hal ini disebabkan oleh: (a) Relatif rendahnya basis pajak hotel kota Batu. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak hotel ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuankrisis ekonomi. (b) Perannya pajak hotel yang tergolong kecil dalam total PAD. Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat.
Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi usaha daerah dalam pemungutan intensifikasi pajak untuk meningkatkan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan negosiasi daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan. (c) Kemampuan administrasi pemungutan pajak hotel yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem target dalam pungutan pajak hotel yang dilakukan pihak dispenda. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak hotel dapat melampaui target yang ditetapkan. (d) Kemampuan pengawasan keuangan pajak hotel yang lemah. Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Selama ini, peranan pajak hotel dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi. Peranan pajak hotel dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.


Kelompok: Earlyna Rachmonandes
                  Rodin Nurohim