Halaman

Jumat, 11 Januari 2013

Empat Warna Diantara Jingga

            Apa yang membuat kita berfikir bahwa apa yang kita jalani adalah seharusnya? Terkadang ketika keinginan dan ego mendukung dengan keadaan kita saat ini untuk melakukannya, kita justru berfikir bahwa semua berpihak pada kita dan itu merupakan tindakan yang sudah benar menurut kita. Tapi, logika adalah no dua saat yang kita inginkan sedikit lagi terwujud. Dan pada akhirnya benar atau tidak pilihan atau sesuatu yang kita lakukan sekarang bukan lagi hal yang prioritas. Tapi saat ini, aku justru terjebak dalam dimensi pemikiranku sendiri mengenai benar atau tidaknya yang aku pilih saat ini. Ketika yang kita pilih dan lakukan bukan lagi mengenai pikir yang beririsan dengan logika, tetapi justru soal perasaan yang sangat bersilangan dengan logika. Bahkan, tidak ada urusan sama sekali dengan logika.

             Hari ini aku memilih menjadi wanita realistis. umurku bukan saatnya lagi untuk menangisi soal perasaan. Bahkan itu sungguh hal yang munafik saat sebenarnya aku sadar betul bahwa pilihan pendidikan ku saat ini saja justru bersilangan dengan perasaanku. Lalu apa lagi yang harus dipertimbangkan soal hati? rasanya itu hanya hal yang tidak perlu terjadi pada fase hidupku di taraf sekarang. Mungkin saja, jalinan perasaan dengan masa lalu harus selesai dengan atau tanpa persetujuan perasaanku untuk left out. Karena untuk terus dewasa, bahagia, dan selamanya pilihannya hanya dua: 1.berdampingan dengan orang yang kita cintai atau 2.mengabdi kebahagiaan pada orang yang mencintai kita. jalinan perasaanku yang dulu adalah pada pilihan yang pertama, buatku, pengalaman itu adalah hal bodoh dan paling mendidik sepanjang hidupku. Bertahun-tahun aku berusaha sedemikian rupa agar diterima dan dilihat sebagai aku. Bahkan , bodohnya aku mencoba menjadi pujaannya. lalu? yang terjadi? Aku melakukan apapun termasuk lebih memilih dia dibanding Alm.Ayahku. suatu hal yang bodoh, kusesali dan mendidikku. Hingga akhirnya perlakuan-perlakuan unlogic darinya yang akhirnya menyadarkan aku bahwa ini salah. Ini bukan kasih sayang sebagaimana Tuhan menganjurkan. Ini justru seperti membelenggu diri dalam sangkar penyiksaan pada usaha dan definisi sendiri. Yang didalamnya bukan sepasang merpati saling mencintai, justru hanya aku dan bayangan harapan atas segala sesuatu yang aku harapkan. Dan saat dia menghentak keras untuk menghempaskan aku, aku tak lagi mencoba untuk mengiba seperti dulu, aku memilih pergi~

            Pilihanku saat ini, memperbaiki pilihanku, memilih pada pilihan yang kedua, dimana yang saat ini datang dengan caranya sendiri, membuka halaman pada kertas usang yang coba dia bersihkan dengan caranya sendiri. Dia berbeda. Tidak ingin menjadi atau mencari siapa2 dari diriku. dia tau betul bagaimana keadaanku, yang sebenarnya secara kualifikasi seharusnya gugur menjadi pilihan laki-laki berpikiran waras. Dan ini merupakan definisi hidup dewasa yang aku pilih. Dia adalah lelaki yang mudah dicintai hawa manapun. sederhana. itulah dia. dan aku menyayanginya. Saat ini, aku ucapkan selamat sore pada langit terjingga sepanjang hidupku. Sunset terindah. Dan tawa kecil sederhana. Terimakasih Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar